Banjir dan longsor yang melanda Sumatera pada akhir November 2025 bukan sekadar fenomena musim hujan, tetapi sebuah tragedi ekologis yang merenggut 174 nyawa, menyebabkan puluhan orang hilang, ratusan luka-luka, dan memaksa 12.546 keluarga mengungsi. Lebih dari 13 kabupaten terdampak, mulai dari rumah hanyut, jembatan runtuh, dan fasilitas umum lumpuh. Namun, bencana sebesar ini masih sering dinarasikan sebagai “cuaca ekstrem”, seolah-olah bersifat wajar dan tidak dapat dicegah.
Normalisasi tragedi merupakan suatu hal yang berbahaya, hujan mungkin menjadi pemicu, tetapi kerusakan ekologislah yang memperparah dampaknya. Warga di sejumlah daerah melihat gelondongan kayu dalam jumlah besar terbawa arus banjir. Sulit menyebut fenomena sebesar itu sebagai “tumbang alami”. Ini menunjukkan adanya deforestasi masif yang berlangsung lama, baik melalui penebangan legal maupun ilegal, tanpa pengawasan yang memadai.
Pertanyaannya jelas: bagaimana mungkin volume kayu sebesar itu tidak terdeteksi sejak awal? Jika aktivitas yang mempengaruhi keselamatan publik tidak terpantau, berarti ada fungsi negara yang tidak berjalan.
Pada titik inilah refleksi keagamaan menjadi penting. Islam menempatkan penjagaan lingkungan sebagai bagian dari amanah moral. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf 7:56)
Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga pelanggaran etika publik. Negara yang lalai menjaga alam berarti lalai menjaga jiwa rakyatnya, bertentangan dengan prinsip hifzhun nafs dalam Maqasid Syariah. Lebih tragis, sejumlah kebijakan justru berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Pada tanggal 20 Oktober 2024, di istana negara, Presiden Prabowo menyatakan “Tidak Perlu Takut Deforestasi” seraya mendorong ekspansi sawit dan program pangan skala besar. Sementara, sejumlah analis lingkungan menilai bahwa ekspansi tersebut berpotensi menambah tekanan terhadap hutan jika tidak disertai sistem pengawasan yang kuat.
Situasi ini diperparah oleh pemangkasan anggaran lembaga vital seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bertugas menangani bencana, dipangkas dari sekitar Rp1,4 triliun menjadi Rp470 miliar. Kemudian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang berperan dalam deteksi dini cuaca ekstrem, dipotong dari sekitar Rp2,8 triliun menjadi Rp1,4 triliun. Data ini merujuk pada dokumen APBN yang dipublikasikan secara terbuka. Pemotongan dana pada sektor mitigasi membuat kemampuan negara menghadapi bencana menjadi jauh lebih lemah.
Di sisi lain, muncul pernyataan dari Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, yang menyebut gelondongan kayu tersebut sebagai “tumbang alami”. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan publik, alih-alih didukung data kehutanan atau laporan investigasi lapangan, penjelasannya justru menutup ruang diskusi ilmiah yang diperlukan untuk memahami penyebab ekologis secara komprehensif.
Kerangka pikir ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Fachruddin M. Mangunjaya dalam bukunya Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup. Ia menegaskan bahwa kerusakan alam adalah krisis moral. Alam dijadikan objek eksploitasi tanpa kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang harus dijaga. Tanpa perubahan moral, kebijakan, dan tata kelola, eksploitasi akan selalu mengalahkan konservasi.
Bencana kali ini menunjukkan bahwa yang mengalami kerusakan bukan hanya alam, tetapi juga arah kebijakan dan tata kelolanya. Jika perlindungan lingkungan tidak diperkuat, banjir tidak lagi dapat disebut musibah alam murni. Ia menjadi produk dari keputusan, kelalaian, dan lemahnya pengawasan.
Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi warganya. Ketika hutan hilang, daerah aliran sungai rusak, dan kapasitas mitigasi melemah, maka bencana adalah konsekuensi yang dapat diprediksi. Diperlukan keberanian untuk memperbaiki sistem, memperketat pengawasan, mengembalikan anggaran mitigasi, serta menjadikan data ilmiah dan pengetahuan ekologis sebagai dasar kebijakan. Jika itu tidak dilakukan, setiap musim hujan akan membawa pertanyaan yang sama: Di mana pemerintah sebelum mereka tenggelam?

0 Komentar