Udara Jakarta usai Hari Pahlawan, 10 November 2025, terasa membawa getaran yang berbeda. Sebagai seorang mahasiswa Bima di perantauan, hati saya dipenuhi rasa haru sekaligus bangga yang meluap. Hari ini bukan sekadar peringatan biasa. Hari ini, sebuah kontras sejarah yang lama tersimpan di hati kami, akhirnya menemukan titik lunasnya. Di kota inilah, Jakarta, tempat kami berjuang menimba ilmu. Sultan kami, Sultan Muhammad Salahuddin dulu berpulang dan hilang dari tanah kelahirannya pada tahun 1951.
Kisah beliau sangat melekat di hati kami. Beliau adalah Sultan yang dikenal dengan gelar 'Maka kidi agama' sang penegak agama. Namun, takdirnya juga mencatatkan sebuah fakta sejarah yang penuh kontradiksi. Beliau mbora ta dana Jakarta, atau hilang (wafat) di tanah Jakarta.
Namun, tepat di Hari Pahlawan, di tempat yang sama, di Istana Negara, kontras itu tuntas. Beliau yang dulu mbora (hilang) dalam catatan sejarah, hari ini justru ditemukan kembali oleh bangsanya. Sesuai dengan prosesi Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional (10/11/2025), nama beliau diangkat setinggi-tingginya, di kota yang sama tempat beliau berpulang. Sejarah telah membayar lunas takdirnya dengan kehormatan tertinggi.
Inilah kuncinya. Sultan Muhammad Salahuddin bukan hanya pahlawan angkat senjata. Beliau adalah seorang visioner yang berjuang di dua front, yaitu diplomasi kebangsaan dan intelektualitas. Beliau adalah seorang nasionalis sejati. Hanya beberapa bulan setelah Proklamasi, Sultan berani mengambil sikap. Beliau mengeluarkan Maklumat pada 22 November 1945 yang menyatakan Kesultanan Bima berdiri tegak di belakang Republik Indonesia (NKRI).
Perjuangan beliau tidak berhenti disitu. Disaat yang sama, beliau berjuang lewat jalur intelektual. Beliau adalah perintis pendidikan di Bima. Beliau disebut sebagai Pahlawan bidang perjuangan pendidikan yang telah mendirikan HIS di Raba 1921, dan Sekolah Kejuruan Wanita 1922. Beliau sadar, perlawanan sesungguhnya adalah melawan kebodohan. Beliau membangun institusi sebagai fondasi untuk mencerdaskan dan membangun identitas rakyat Mbojo.
Jika Sultan dulu membangun sekolah (HIS dan Sekolah Kejuruan) sebagai rumah pengetahuan di Bima, kami di perantauan, khususnya di Jakarta, membangun organisasi kedaerahan dan kekeluargaan. Bagi kami, organisasi ini bukanlah sekadar tempat kumpul. Ini adalah rumah kembali kami di tanah rantau. Persis seperti fungsi sekolah yang didirikan Sultan, organisasi ini adalah wadah kami untuk saling merangkul, menguatkan identitas (nasionalisme lokal), dan berdiskusi tentang kedaerahan (intelektualitas).
Relevansinya bahkan lebih tajam dari itu. Perjuangan Sultan sangat spesifik: beliau mendirikan HIS (sekolah umum) dan Sekolah Kejuruan Wanita. Visi ini melampaui zamannya. Beliau tidak hanya ingin rakyatnya tahu, tapi juga bisa. Beliau mencetak tenaga-tenaga terampil. Inilah tantangan langsung bagi kita di dunia kampus. Apakah kita, sebagai mahasiswa modern, hanya mengejar ijazah, atau kita benar-benar mengasah keahlian spesifik yang bisa membangun Bima, persis seperti visi Sultan?
Maka, organisasi kedaerahan kita adalah bentuk warisan langsung dari semangat itu. Ini bukan sekadar benteng agar tidak hilang. Ini adalah laboratorium kepemimpinan kita. Inilah Sekolah Kejuruan modern kita, tempat kita mengasah soft skill, manajemen, dan kepemimpinan. Sultan dulu membangun sekolah fisik untuk mencetak kader, kita hari ini membangun rumah organisasi untuk mencetak pemimpin masa depan Bima. Kualitas diskusi di rumah inilah yang akan menentukan kualitas kita saat pulang kampung nanti.
Tapi, perjuangan kita di tanah rantau ini tidak mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Sangat mudah bagi kita untuk merasa kecil, sendirian, atau bahkan ikut mbora (hilang) terbawa arus, lupa identitas, dan gagal dalam tujuan utama kita merantau. Kita semua merasakan beratnya jauh dari keluarga dan berjuang di tengah persaingan ibu kota.
Di sinilah semangat Sultan Salahuddin harus menjadi api. Beliau tidak pasrah pada keadaan. Beliau melawan dengan membangun. Maka, cara terbaik kita meneruskan perjuangannya bukan hanya dengan berkumpul, tapi dengan berjuang di bidang pendidikan persis seperti yang beliau rintis. Senjata kita hari ini adalah IPK, skripsi, diskusi kritis, dan keahlian yang kita asah. Jangan sampai kita ikut hilang di Jakarta. Kita harus menang di Jakarta.
Maka, di Hari Pahlawan ini, perjuangan kita jelas. Menjadi pahlawan versi kita adalah mengalahkan kemalasan. Menjadi pahlawan adalah menuntaskan skripsi, bukan lari darinya. Menjadi pahlawan adalah aktif di rumah organisasi, menyumbang ide, bukan hanya numpang nama. Menjadi pahlawan adalah lulus tepat waktu dengan keahlian di tangan, siap pulang membangun kampung halaman.
Sultan telah membuktikan bahwa perjuangan di Jakarta bisa dimenangkan dengan kehormatan. Gelar Pahlawan Nasional ini adalah buktinya. Kini giliran kita. Mari kita pastikan bahwa saat kita pulang ke Bima, kita pulang sebagai pemenang, sebagai pahlawan bagi keluarga kita, bukan sebagai seorang yang mbora di tanah rantau. Selamat Hari Pahlawan. Api perjuanganmu kami teruskan, Sultan.
Sumber :
https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/hormati-jasa-para-pendahulu-presiden-prabowo-anugerahkan-gelar-pahlawan-nasional-kepada-sepuluh-tokoh-bangsa/
https://www.youtube.com/live/1-eY5zb2i-4?si=BK8ElbjLnqjAwvVM
WordPress.com Maklumat 22 Nopember 1945 - Romantika Bima - WordPress.com

0 Komentar